Syech Abdul Qadir al-Jilani berkata :
"Jika hamba Allah diuji, pertama-tama ia berusaha menghindarinya dengan segenap tenaga. Jika gagal, ia berusaha mencari pertolongan dari orang lain, seperti para raja & orang berkuasa, ahli dunia, hartawan dan dalam urusan penyakit, dari para tabib. Namun jika mereka tak dapat memberinya keselamatan, ia akan kembali kepada sang Pencipta & Tuhannya Yang Mahaagung dan Mahakuasa serta memohon kepada-Nya dengan doa, kerendahan hati dan pujian.
Selama ia menemukan sumbernya dalam dirinya sendiri, ia tidak akan berpaling kepada manusia dan selama ia menemukan sumbernya pada manusia, ia tidak akan berpaling kepada Allah. Lalu, ketika ia tak mendapatkan pertolongan dari Allah, ia serahkan dirinya ke Hadirat Allah dan tetap berada dalam keadaan ini dengan meminta, memohon dan bersimpuh memuji seraya mengutarakan kebutuhannya disertai rasa takut dan harap. Tetapi, Allah mengabaikan dan tidak menerima doanya kecuali jika ia meninggalkan seluruh kekayaan dunia. Takdir dan perbuatan Allah kemudian menampakkan diri melalui dirinya dan hamba Allah ini meninggalkan duniawi sehingga yang tersisa hanya jiwanya.
Pada tingkatan ini, ia tidak melihat apa-apa kecuali perbuatan Allah dan secara mutlak menjadi orang yg beriman kepada keesaan Allah (tauhid) hingga mencapai derajat kepastian bahwa pada hakikatnya tidak ada pelaku apapun kecuali Allah dan tak ada yg menggerakkan atau menghentikan kecuali Dia, tak ada kebaikan maupun kejahatan, tak ada kerugian maupun keuntungan, tak ada penyerahan atau penahanan, tak ada pembukaan atau penutupan, tak ada kematian maupun kehidupan, tak ada kemuliaan dan kehinaan, tak ada kekayaan dan kemiskinan kecuali di tangan Allah.
Dia kemudian berada di Hadirat Allah bagaikan bayi di tangan perawatnya, mayat di tangan yg memandikannya dan bola di depan tongkat pemukul seorang pemain, ketika ia terus berputar, berkeliling dan mengubah posisi demi posisi, keadaan demi keadaan, dan ia merasa tidak berdaya untuk bergerak dalam dirinya sendiri maupun orang selain dirinya. Akhirnya ia sirna di dalam dirinya karena perbuatan Pemiliknya.
Maka, ia tidak melihat apa-apa kecuali Pemilik dan perbuatan-Nya, dan tidak mendengar atau memahami apa-apa kecuali Dia. Yang dilihatnya hanyalah perbuatan-Nya dan yg didengar dan diketahuinya hanyalah firman-Nya dan pengetahuan melalui pengetahuan-Nya. Ia menjadi orang yg mendapat karunia-Nya dan melalui kedekatan-Nya ia menjadi terpuji, dimuliakan, diridhai, dan dipuaskan dengan janji-Nya, dibawa kedalam firman-Nya dan ia merasa enggan atau tidak tertarik kepada yg selain Dia; ia menginginkan dan bersandar pada zikir-Nya. Ia kokoh di dalam-Nya, Yang Mahaagung lagi Mahakuasa. Dia bersandar kepada-Nya, mendapatkan petunjuk dan mengenakan pakaian dari cahaya pengetahuan-Nya. Kepadanya diberitahukan hal-hal langka dari pengetahuan-Nya dan tentang kekuasaan-Nya. Ia hanya mendengar dan mengingat dari-Nya, Yang Mahaagung lagi Mahakuasa, lalu mengucapkan syukur, memuji, dan shalat."
dikutip dr Futuh al-Ghayb (Karya Besar Syech Abdul Qadir al-Jilani)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar