Taraqqi dan tanazul adalah dua istilah yang sering digunakan dalam menggambarkan relasi antara hamba dengan Tuhan. Taraqqi diartikan sebagai perjalanan spiritual seorang hamba dalam upaya mendaki mendekati Tuhannya. Sedangkan tanazul ialah respons positif dari Tuhan terhadap upaya yang penuh kesungguhan (mujahadah) seorang hamba yang digambarkan seolah-olah Tuhan turun menjemput kekasih-Nya.
Taraqqi dan tanazul merupakan proses sebab-akibat yang terjadi antara sang pencari dan yang dicari, antara yang sang pencinta dan yang dicintai, atau antara abid dan mabud. Taraqqi bisa melalui berbagai bentuk ibadah mahdhah atau media pengabdian sosial yang penuh keikhlasan.
Substansi taraqqi adalah mujahadah seorang hamba yang penuh keikhlasan dan tawakkal sehingga betul-betul seluruh harapan dan tujuan hidup tertuju kepada Allah Swt. Sedangkan substansi tanazul ialah Allah Swt menampilkan sifat-sifat jamaliyah (feminine), pengasuhan, kelembutan dan kasih sayang-Nya kepada hamba-Nya.
Cepat atau lambat, tinggi atau rendahnya pendakian (taraqqi) seorang hamba sangat tergantung kepada intensitas mujahadah seorang pendaki. Intensitas taraqqi juga ikut menentukan intensitas tanazul-Nya Tuhan. Jika sang pendaki lebih cepat tentu lebih cepat sampai kepada tujuannya. Jika sang pendaki konsisten (istiqamah) maka tidak mustahil akan mencapai tujuan lebih cepat dari waktu yang diperkirakan. Namun tidak gampang melakukan pendakian itu, karena di sana-sini banyak godaan, dan godaannya pun lebih berat, karena semakin tinggi tingkat pencarian seseorang, semakin berat cobaannya. Oleh karena itu Allah Swt memberikan penghargaan kepada hamba-Nya yang selalu mengupayakan pendakian.
Dalam Hadis Qudsi disebutkan "Barangsiapa hamba-Ku mendekati-Ku (taraqqi) sejengkal maka Aku akan mendekatinya (tanazul) sesiku, barangsiapa mendekati-Ku sesiku maka akan Aku dekati sedepa dan seterusnya. Barangsiapa hamba-Ku mendekati-Ku berjalan maka Aku akan mendekatinya berlari." Ini buktinya Allah Swt Maha Pengasih lagi Maha Penyayang (al-Rahman al-Rahim).
Kiat-kiat untuk menjadi seorang pendaki yang baik tentu pertama kali harus mengamalkan dengan baik seluruh rangkaian ajaran Islam secara komprehensif dan dengan penuh keikhlasan, ketulusan, dan kepasrahan. Setelah itu sang pendaki harus melengkapi diri dengan asesori spiritual, seperti merawat mulut dengan dzikir, baca Al-Quran, dan tidak bicara melainkan benar, bermakna, dan menjauhi kebohongan, kepalsuan, kamuflase, kemunafikan, ledakan amarah, mengumpat, dan memfitnah; merawat telinga dengan mendengarkan lantunan bacaan Al-Quran, syair-syair dan lagu-lagu spiritual yang mendekatkan diri kepada Sang Khaliq Yang Maha Terpuji; merawat pikiran dengan positive thinking dan logika yang lurus; dan merawat hati dengan dzikir qalbu, muhasabah, tafakkur, dan tadzakkur. Langkah selanjutnya ialah istiqamah didalam melakukan amalan-amalan utama (riyadhah) kepada Allah Swt. Sedapat mungkin tidak meninggalkan ibadah-ibadah sunnah, mencegah agar dirinya tidak terkontaminasi oleh pikiran-pikiran liar, keinginan nafsu syahwat, dan pengaruh negatif lainnya.
Setelah semuanya ini menjadi rutin maka secara otomatis akan ada kekuatan spiritual yang bekerja di dalam diri untuk melanjutkan kebiasaan itu. Selanjutnya yang bersangkutan akan berada pada posisi dan keadaan tidak mampu lagi membedakan antara ibadah-ibadah sunnat dan wajib. Jika ia meninggalkan ibadah sunnat perasaannya seperti meninggalkan ibadah wajib. Jika misalnya meninggalkan salah satu wirid rutinnya maka seperti ada sesuatu yang hilang atau kurang di dalam dirinya, seperti rasanya kalau meninggalkan ibadah fardu. Ini artinya yang bersangkutan sudah melakukan taraqqi dan Yang Di Sana sudah melakukan tanazul, dan sebentar lagi akan terjadi pertemuan (liqa).
(Prof.Dr. Nasaruddin Umar, MA. - Harian Pelita)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar