Salah satu perbedaan antara ma’rifat dan jenis pengetahuan lain adalah cara memperolehnya. Jenis pengetahuan biasa diperoleh melalui usaha keras; belajar keras; merenung keras; berpikir keras. Akan tetapi ma’rifat tidak bisa sepenuhnya diusahakan manusia. Pada tahap akhir semuanya bergantung pada kemurahan Allah Swt. Manusia hanya bisa melakukan persiapan (isti’dad) dengan cara membersihkan diri dari segala dosa dan penyakit2 hati atau akhlak tercela lainnya.
"Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang yang berbuat baik." (Q.S. Al-‘Ankabut (29): 69).
"Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya." (Q.S. Al-Insyiqaq (84): 6)
Berkaitan dengan jalan perolehan ma’rifat ini Imam Ibnu ‘Atha’illah As-Sakandari dalam al-Hikam menulis:
“Apabila Tuhan membukakan jalan bagimu untuk Ma’rifat, maka jangan hiraukan amalmu yang masih sedikit itu, karena Allah tidak membuka jalan tadi melainkan Dia (sendiri yang) berkehendak memperkenalkan diri-Nya kepada kamu. Tidakkah anda ketahui bahwa perkenalan itu adalah pemberian Allah pada anda. Sedangkan amal-amal (yang anda kerjakan) anda berikan amal-amal itu untuk Allah, dan dimanakah fungsi pemberian anda kepada Allah apabila dibandingkan pada apa yang didatangkan Allah atas anda ?”
Ada pula orang awam yg tanpa kesungguhan bermujahadah, tetapi Allah telah menentukan satu kedudukan kerohanian kepadanya, maka taqdir akan membawanya sampai kepada kedudukan yang telah ditentukan itu. Orang dalam golongan ini biasanya berhadapan dengan sesuatu peristiwa yg dengan serta-merta membawa perubahan kepada hidupnya. Perubahan sikap dan kelakuan berlaku secara mendadak. Kejadian yg menimpanya selalu berbentuk ujian yg memutuskan hubungannya dengan sesuatu yg menjadi penghalang di antara dia dengan Allah.
Orang yg berada dalam golongan ini dihalang oleh taqdir untuk menerima bantuan dari makhluk sehingga mereka berputus asa terhadap makhluk. Lalu mereka kembali dengan penuh kerendahan hati kepada Allah dan timbullah dalam hati mereka suasana penyerahan yg benar-benar terhadap Allah. Penyerahan yg tidak mengharapkan apa-apa dari makhluk menjadikan mereka ridla dengan apa saja yg ditetapkan Allah kepadanya.
Suasana seperti ini membuat mereka sampai dengan cepat ke perhentian pintu gerbang makrifat walaupun ilmu dan amal mereka masih sedikit. Diibaratkan, orang yg berjalan dengan kendaraan bala bencana mampu sampai ke perhentian tersebut dalam masa dua bulan sedangkan orang yg mencari mungkin sampai dalam masa dua tahun.
Abu Hurairah r.a menceritakan, beliau r.a. mendengar Rasulullah s.a.w bersabda yg maksudnya: Allah Swt berfirman: "Apabila Aku menguji hamba-Ku yang beriman kemudian dia tidak mengeluh kepada pengunjung2nya maka Aku lepaskan dia dari belenggu-Ku dan Aku gantikan baginya daging dan darah yang lebih baik dari yang dahulu dan dia dapat memperbaharui amalnya sebab yang lalu telah diampuni semua."
Betapa didalam ujian Tuhan kita malah dipercepat untuk berdekatan dengan-Nya. Sebuah tindakan yang jarang ditemui dalam kelapangan. Maka adakah ujian yg kita hadapi harus selekas mungkin disudahi jika setelah lepas dari ujian-Nya kita kembali menjauh dari Tuhan ? Lagian, toch cuma ujian. Kalau dengan itu kita bisa berdekatan dengan Tuhan, kenapa harus kita persoalkan lagi amal dan ilmu yang kita miliki.
Kemungkinan juga terjadi sedikit amal ibadah yg kita kerjakan disebabkan penyakit yg ada pada tubuh kita, tetapi apabila ma’rifat kita kepada Allah sudah begitu mendalam, maka kita mengetahui dengan rasa yakin bahwa sakit itu lebih baik dari sehat, karena dalam sakit kita dapat menuju pada satu keadaan lebih dekat kepada Allah ketimbang kita sehat di mana kita jauh daripadaNya.
Kesimpulan :
Bahwa kita selaku hamba Allah, biarlah amal ibadah kita sedikit, asal saja ma’rifat kita kepada Allah bersemayam di dalam diri kita. Ini adalah lebih bagus daripada amal ibadah yg banyak tetapi hati kita lalai kepada Allah, tidak sejalan antara ibadah yg kita kerjakan dengan hati kita sendiri.
Dari sinilah kita menyadari bahwa hidup bukan untuk siapa pun atau apa pun, kecuali hanyalah untuk Allah semata, apabila kita benar-benar telah mengenal Allah, kita baru akan merasakan menerima agama Islam itu dari-Nya.
(sufinews)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar