Minggu, 30 Agustus 2009

Puasa - Mengendalikan Indera Batiniah

Dengan merujuk pada sabda-sabda Rasulullah Saw, kita melakukan berbagai ketaatan. Kita lakukan puasa kita dengan berpegang pada sabda Nabi. Kita mengikuti petunjuk Nabi dalam bersahur, berpuasa, berbuka, dan berdoa di malam hari. Inilah ketaatan yang paling dasar, bagian terluar dari pelaksanaan ajaran Islam. Inilah syariat.
Secara syariat, puasa ialah mengendalikan diri untuk tidak makan, minum, dan seks sejak terbit fajar sampai tenggelam matahari. Puasa ini bukan saja dapat dilakukan anak-anak, tetapi juga binatang. Ular, kura-kura, harimau, seringkali berpuasa seperti ini. Mereka tentu saja melakukannya karena bimbingan Tuhan yang bersifat takwini; sementara kita berpuasa karena ketentuan tasyri’i (syariat).

Puasa juga dimulai ketika kita berusaha mengendalikan sepuluh alat indera kita. Lima di antaranya indera lahiriah, seperti pembicaraan, penglihatan, pendengaran, penyentuhan, penciuman. Ketika kita menahan pembicaraan, bukan saja dari bergunjing, memfitnah, berdusta, tetapi juga dari kelebihan pembicaraan kita, dari hal-hal yang tidak perlu, kita sedang berpuasa bicara. Nabi Muhammad saw bersabda, “Berbahagialah orang yang menahan kelebihan bicaranya dan memberikan kelebihan hartanya.” Puasa penglihatan bukan hanya tidak melihat yang diharamkan tetapi juga memusatkan perhatian hanya kepada yang patut dilihat saja. Dan begitulah seterusnya.

Menurut para sufi, ruh kita adalah sais kereta yang ditarik oleh sepuluh kuda. Lima kuda lebih liar dari lima kuda lainnya. Kuda yang sukar dikendalikan itu adalah lima indera batiniah kita. Berdasarkan hadis, “Semua kamu pemimpin dan semua kamu harus bertanggungjawab dari kepemimpinannya”, kita diperintahkan untuk mengendalikan anak buah kita baik yang lahir mapun yang batin, baik yang jinak maupun yang liar.

Untuk selanjutnya, kita akan menjelaskan puasa yang mengendalikan indera-indera batiniah kita: pikiran, ingatan, khayalan, rasa, dan indera yang menggabungkan semuanya.

Puasa pertama ialah puasa pikiran.
Menurut Al-Quran, pikiran diberikan kepada manusia untuk merenungkan ciptaan Allah, untuk memahami sifat-sifat dan perbuatan-Nya. “Di antara tanda-tanda-Nya, Dia menciptakan kamu dari dirimu sendiri pasangan-pasangan kamu agar kamu hidup tenteram bersamanya, dan Ia jadikan di antara kamu cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya dalam hal demikian itu ada tanda-tanda bagi orang yang berpikir.” (QS. Al-Rum; 21); “Akan Kami perlihatkan kepada mereka tanda-tanda Kami di alam semesta dan di dalam diri-Mu sendiri sehingga jelas bahwa Dia Al-Haqq…. Dan dalam diri mereka sendiri tidakkah mereka perhatikan.” Memikirkan ayat-ayat Allah dihitung sebagai ibadah, yang sama pentingnya dan bahkan berdampingan dengan zikir. Nabi saw bersabda, “Berfikir satu saat lebih baik dari beribadat tujuh puluh tahun.”

Selama ini pikiran kita dipusatkan hanya pada upaya memenuhi kebutuhan jasmaniah. Kita menajamkan kecerdasan kita untuk memperoleh uang sebanyak-banyaknya, atau merebut massa seluas-luasnya, atau menaikkan posisi kita setinggi-tingginya. Kecerdasan kita tidak dipergunakan untuk berkhidmat kepada Ruh, yang membawa kita kepada Tuhan. Dengan puasa pikiran, kita putuskan diri kita dengan apa pun selain Allah. Kita pusatkan perhatian kita untuk memikirkan sifat dan af’al Allah swt. Jika tidak dapat melakukannya secara terus-menerus, paling tidak pada malam-malam puasa gunakanlah pikiran kita untuk merenungkan limpahan kasih sayang Allah kepada kita. Istirahatkanlah pikiran Anda dari semua beban yang selama ini menyusahkan Anda.

Puasa kedua adalah puasa ingatan. Pikiran kita sangat dipengaruhi oleh apa yang kita simpan dalam memori kita. Berbagai peristiwa terjadi di sekitar kita. Ada yang menyakiti hati kita. Biasanya sakit hati itu kita simpan dalam hati kita. Dengan puasa ingatan, kita keluarkan sakit hati itu dari simpanan memori kita. Dalam hati kita telah terlalu banyak kita simpan berbagai penyakit. Buanglah itu semua. Sebagai gantinya, masukkanlah ke dalamnya Asma Allah swt. Setiap kali kenangan membawa kita kepada selain Allah, palingkanlah kenangan itu kepada Dia.

Puasa ketiga adalah puasa khayalan.
Manusia memiliki kemampuan untuk menyimpan berbagai gambaran dan penafsiran dalam dirinya. Kekuatan khayal ini dapat menghadirkan yang gaib, mendekatkan yang jauh. Selama ini daya khayal kita terbang dengan sangat liar. Melalui apa yang kita lihat, dengar, atau baca, kita mengembangkan khayal kita untuk pemuasan hawa nafsu. Dengan puasa khayalan, kita kendalikan daya khayal kita hanya untuk menghadirkan Allah swt bukan saja dalam ibadat tetapi juga dalam setiap gerakan kita.

Puasa keempat adalah puasa rasa.
Karena nafsu ammarah yang ada dalam diri, kita mudah mengikuti dorongan rasa benci dan suka. Dengan puasa perasaan, semua rasa yang berkaitan dengan makhluk ditinggalkan. Perasaan kita semua ditundukkan dalam kecintaan kepada Allah. Nabi saw bersabda, “Barangsiapa yang benci karena Allah, cinta karena Allah, sudah sempurnalah imannya.” Orang yang sudah berpuasa rasa akan berkata seperti Abu Dzar, “Lebih baik aku dimarahi manusia dengan keridaan Allah ketimbang disukai manusia dengan kemurkaan Allah.”

Jalaluddin Rakhmat

Tidak ada komentar: