Bagi sebagian para penempuh jalan spiritual, gelar ruhani (mukmin, muhsin, muttaqun, mutawakkil, muqarrab, dll) bukan lagi menjadi sesuatu yang menjadi tujuan perjalanannya. Itu hanyalah bonus yang sudah pasti diberikan Allah Swt. bagi orang-orang yang dikasihi-Nya. Surga bukan lagi menjadi muara pencariannya. Tujuan hidupnya hanya satu, yakni ALLAH Ta'ala. Orang yang sukses dalam menempuh jalan spiritual ini akan menjadi kekasih-Nya. Jika sudah menjadi kekasih-Nya, tanpa diminta pun, Tuhan akan memberi kenikmatan kepadanya. Logis bukan?
Orang yang mendharmabaktikan hidupnya dalam pencarian Tuhan adalah orang-orang yang tercerahkan. Bagi mereka, ilmu pengetahuan tidak hanya diperoleh di bangku sekolah atau sarana formal lain, seperti buku dan wejangan para cendekiawan. Belajar dari buaian hingga liang lahat adalah bentuk pengejawantahan perintah iqra' atau membaca (QS. al-'Alaq:1dan3), yakni membaca alam semesta. Dunia adalah simbol atau tamsil dan penuh pelajaran. Alam semesta raya adalah obyek yang penuh dengan ayat atau tanda. Di balik simbol dan tanda ini, terkandung ilmu yang maha luas. Orang-orang yang tercerahkan akan mampu membaca setiap tanda yang hadir di hadapannya.
Belajar baginya tidak hanya melalui sarana buku atau seorang guru. Alam semesta adalah buku, sementara akal dan hati sebagai gurunya. Al Qur'an adalah kumpulan teori dan rumus yang berguna sebagai sarana untuk memahami setiap catatan yang tergoreskan pada semesta, buah karya agung Sang Pencipta. Orang yang mampu membaca ayat-ayat atau tanda-tanda alam semesta akan menjadi orang bijak. Sementara, orang yang sekadar mampu mengadopsi ilmu yang dibacanya dari buku atau petuah seorang guru, hanya akan menjadi orang yang pintar. Namun, kepintaran mereka terkadang belum mampu menyelamatkan keinginan yang berlebihan pada nafsu duniawi. Seorang yang pintar belum tentu bijak. Orang pintar banyak ditemui, tapi orang bijak sangat jarang dijumpai. Ini bukti bahwa kepintaran belum tentu membawa seseorang pada perilaku ke arah kebijaksanaan.
Orang-orang bijak akan selalu hati-hati terhadap semua ini. Mungkin mereka tidak pintar secara teori, namun brilian dalam sikap dan pengendalian diri. Nabi Muhammad Saw. adalah seorang yang ummiy, yakni buta huruf. Tak ada gelar formal yang disandangnya. Namun Beliau adalah seorang yang bijak dan menjadi panutan miliaran umat di dunia. Beliau adalah sosok yang pandai, cerdas dan brilian dalam membaca, menghayati serta menganalisis ayat-ayat alam semesta.
Bagi orang-orang bijak, atau setidaknya mereka yang sedang menempuh jalan kebijakan, hidup adalah proses pembelajaran yang berlangsung secara berkesinambungan. Dua puluh empat jam dalam sehari adalah kesempatan untuk menambah teori serta memecahkan rumus-rumus yang termaktub dalam firman Tuhan dan sabda Nabi-Nya. Di sela-sela pembelajaran itulah terselip serangkaian ujian sebagai bahan evaluasi hasil belajar. Setiap ujian akan dihadapinya dengan tenang, santai, namun penuh keseriusan. Tak ada yang dirasa berat, tidak pula disepelekan. Jika akhirnya ujian hidup tersebut dapat diselesaikan, ia akan selalu bersiap menghadapi ujian berikutnya. Jika ujian tersebut belum mampu dikerjakan, ia pun lega hati untuk mengulanginya. Inilah makna belajar bagi para penempuh jalan spiritual. Hidup yang dijalaninya pun terasa indah, seimbang dalam suka dan duka, bahagia dalam keadaan sempit dan lapang.
Kebijakan ini memiliki kaitan yang erat dengan persoalan ketuhanan. Artinya, untuk dapat menjadi bijak, seseorang haruslah menjalani praktik-praktik yang dapat mendekatkan dirinya kepada Tuhan. Kita sering salah kaprah memahami bahwa dengan menjalani hukum-hukum syariat agama saja sudah cukup untuk menjadi manusia bijak. Syariat tanpa didasari tauhid yang benar belum mampu mengantarkan seseorang mengenali kehendak Tuhan, mengenali hati dan kesejatian diri, mengenali sunatullah, dan mengenali karakter diri dan karakter sesama untuk mudah berkomunikasi. Syariat tetap diperlukan dan dijadikan pedoman tindakan 'raga', sementara 'hati' juga memerlukan pedoman untuk menentukan kebenaran.
Tasawuf adalah solusi tepat bagi para penempuh jalan spiritual. Jika dilihat dari makna bahasa Arab, tasawuf berarti kesucian. Jadi tasawuf adalah metode atau jalan dalam beragama untuk meraih kesucian hati. Kesucian hati dapat mengantarkan manusia kepada Tuhan, karena Dia Maha Suci dan hanya dapat dijumpai oleh orang-orang yang telah tersucikan. Lebih spesifik lagi, bahwa Allah Swt. hanya dapat didekati sedekat-dekatnya oleh orang-orang yang telah suci dari makhluk. Artinya, ia telah meniadakan diri dan tidak lagi terikat oleh hal-hal yang bersifat kemakhlukan.
Tanpa sadar, kita sering mencuri sifat-sifat Tuhan yang sebenarnya hanya Dia titipkan saja dalam diri kita. Kita sering mengaku "Aku", padahal sejatinya hanya Tuhan saja yang berhak meng-"Aku". Tanpa kita sadari pula, sifat-sifat Fir'aun banyak berceceran dalam hati kita.
Sifat-sifat Fir'aun ini banyak merasuki hati manusia kebanyakan, bisa jadi kita termasuk di dalamnya. Kita merasa lebih pintar lalu memandang rendah pada orang yang kita anggap bodoh. Padahal, sejatinya ilmu yang kita miliki itu semata-mata adalah pemberian Allah Swt. Kita tidak memiliki apa-apa. Kita merasa kaya hingga memandang rendah orang yang lebih miskin. Padahal, hakikatnya kita tidak punya apa-apa, harta yang kita punya sekadar titipan dari-Nya. Kita merasa baik hingga memandang orang lain salah dan perlu kita nasihati. Padahal, kita hanya menggunakan kacamata luar, tanpa memandang isi batinnya. Belum tentu juga kita lebih baik darinya. Kita juga merasa terhormat hingga menjadi marah manakala ada orang yang merendahkan kita. Padahal, asalnya kita ini hina, lantaran diberi sedikit sifat Kemuliaan-Nya, maka kita menjadi dihargai.
Musibah dan Bahagia, Agus Wahyudi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar