Minggu, 05 Juli 2009

Keberserahdirian

Kata “Islam” bermakna keberserahdirian, berasal dari kata “aslama” yang bermakna “berserah diri” atau “sepenuhnya tunduk”. sebagaimana tersebut dalam Al Quran Surat Ali Imran ayat 83 : "Maka Apakah mereka mencari Dien yang lain dari Dien Allah, Padahal kepada-Nya-lah menyerahkan diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan."
Maka mengertilah kita mengapa Allah menyatakan bahwa segala apa yang ada di langit dan di bumi “aslama” kepada Nya.

Tapi kata adalah kata. Mendengar kata “manis” tidak membuat kita mengalami manis maupun mengerti apa itu manis dan seberapa manis? Arti keberserahdirian tidak bisa diterangkan dengan kata-kata saja. Jadi, apa itu “berserah diri” ? Tidak ada susunan kata-kata yang mampu menjelaskan keberserahdirian, istilah yang menamai sebuah cara menempuh kehidupan yang diwahyukan Allah kepada junjungan Muhammad Saw. Seseorang hanya bisa mengerti apa makna sebuah keberserahdirian jika ia telah diijinkan Allah untuk mengalaminya. Keberserahdirian adalah sebuah kondisi diri yang hanya bisa dirasakan, bukan dilisankan. Dan agama Islam, agama keberserahdirian kepada Allah, adalah sebuah metode yang dibawa Rasulullah untuk mendudukkan manusia dalam kondisi itu, titik ketika seseorang sudah sepenuhnya menjadi seorang Hamba Allah.

Seperti itu pula, semakin kita mempelajari dan mendalami jalan hidup yang dibawa Rasulullah, semakin banyak pula kita menemukan poin-poin penting yang meski sangat mudah untuk dilisankan, namun sulit untuk diterangkan. Kesabaran, misalnya. Apa sebenarnya “sabar” itu? Bagaimana menerangkan “sabar”?

Ketika Allah memerintahkan siapa pun yang ingin meraih kebenaran sejati untuk senantiasa sabar, syukur, ikhlas, dan tawakkal, maka pada hakikatnya ini juga berarti bahwa mereka harus “mengalami” sabar, syukur, ikhlas, dan tawakkal. Ini tidak melulu berarti bahwa ia harus membaca atau bertanya tentang itu terlebih dahulu.

Seseorang yang telah masuk ke dalam Pendidikan Allah Ta’ala, jika Allah menghendaki ia memiliki sifat sabar, misalnya, maka Allah—karena kemahakuasaan-Nya—akan “memakaikan padanya jubah kesabaran”, dan ini sama sekali terlepas dari suka atau tidaknya orang tersebut terhadap prosesnya. Ini artinya, jika Allah menghendaki seorang hamba untuk memiliki sifat sabar, maka Allah — secara paksa atau sukarela — akan merancang kehidupannya sedemikian rupa sehingga akan merangsang tumbuhnya kesabaran sejati dalam diri orang tersebut. Demikian pula untuk kebaikan-kebaikan lainnya, yang memang dikehendaki-Nya untuk dimiliki seseorang.

Sebagaimana semua mursyid lain yang pernah ada, jika Allah memang telah menghendaki seorang muridnya untuk memiliki suatu kebaikan, misalnya sifat sabar, maka sang mursyid semata-mata hanya menjadi alat Allah untuk membuat muridnya “mengalami kesabaran”. Ia bisa merancang sebuah pengalaman nyata bagi si murid untuk dibuatnya “menelan kesabaran”, atau berdoa kepada Allah supaya membentuk kehidupan muridnya itu sehingga menjadi lahan yang subur untuk menumbuhkan kesabaran.

(Syaikh Muzaffer Ozak)

Tidak ada komentar: