Jumat, 17 Juli 2009

Rahasia Belajar

Ada pepatah, orang yang bijak mau mendengar dan tekun menambah ilmu. Logikanya, orang yang tidak ingin menjadi bijak, orang itu tidak akan mendengar. Tapi perlu kita tahu apa yang perlu kita dengar. Mendengar disini bukan mendengarkan orang lain saja, tapi juga mendengarkan suara hati nurani.

Banyak orang tuli tidak bisa mendengar suara orang lain, tapi punya kemampuan mendengar hati nuraninya sendiri. Orang itu mendapatkan petunjuk lebih besar daripada orang yang bisa mendengar suara orang lain tapi tidak bisa mendengarkan nuraninya.
Orang yang buta tidak bisa melihat secara visual. Tapi dia bisa melihat dengar bashirah (mata batin) yang ia miliki. Seringkali orang buta mendapatkan petunjuk yang jelas ketimbang orang yang melek.

Nah inilah, orang yang bijak mau mendengar dan tekun menambah ilmu. Orang yang bijak tidak pernah merasa puas, tidak pernah merasa pintar, tidak pernah merasa segalanya ada pada dirinya. Orang yang bijak selalu melihat segi-segi kelemahan pada dirinya. Apalagi kalau dirinya membayangkan sebagai hamba Tuhan.

Orang yang arif akan mengumpulkan berbagai bahan pertimbangan sebelum mengambil keputusan. Semakin arif orang itu semakin banyak dia mendapatkan pilihan-pilihan untuk menyelesaikan persoalan di dalam hidupnya. Sebaliknya orang yang tidak arif, sekalipun dia sarjana lulusan universitas terkemuka, akan sedikit saja memiliki pilihan dalam hidupnya. Orang arif, ketika dia mentok di satu pintu, dia masih punya alternatif mencari pintu lain. Mentok saat ini, mungkin detik berikutnya pintu itu akan terbuka. Orang arif tidak pernah kehabisan akal untuk menyelesaikan problemnya. Tapi orang yang tidak arif, begitu mengalami kebuntuan, selesai sudah. Dan mungkin dia akan mencari jalan pintas, menerobos bahkan melanggar aturan.

Orang yang bijak selalu mendengar. Orang lain tidak, dia masih bisa mendengarkan dirinya sendiri. Kalaupun hati nuraninya tidak bisa bersuara, dia bisa memancingnya melalui perenungan atau dengan shalat istikharah. Shalat istikharah itu ibarat menggali sumur. Di permukaan tanah kelihatannya tidak ada air. Tapi begitu kita menggali, kita akan mendapatkan air.

Perintah-perintah Tuhan itu sebetulnya bermuara pada pemenuhan komunikasi batin kita sendiri. Jadi yang disebut guru tidak mesti harus dicari dari luar. Dalam diri kita sendiri ada guru yang sangat bijak. Hadis mengatakan: “Siapa yang mengenal dirinya, sungguh dia telah mengenal Tuhannya”.

Mitos-mitos Keliru

Ada beberapa mitos yang keliru dalam pembelajaran. Pertama, kecerdasan dianggap bersifat tetap. Orang sering salah sangka bahwa seolah-olah ilmu pengetahuan itu miliknya orang cerdas. Dan banyak orang menganggap dirinya tidak cerdas sehingga dia tidak termotivasi untuk mencari ilmu. Itu mitos. Kecerdasan itu siapapun bisa mengaksesnya, bisa memperolehnya. Tidak ada satupun orang yang tidak berhak untuk memperoleh ilmu. Apalagi ilmu yang bersumber dari Tuhan.

Kedua, semua orang belajar dengan gaya yang sama. Disangka bahwa untuk memperoleh pengetahuan itu harus menggunakan sarana, media, dan metodologi yang sama. Padahal setiap orang punya caranya sendiri untuk belajar. Ada orang yang melalui pendidikan formal, dia pintar. Ada orang yang tidak melalui pembelajaran formal bisa pintar. Ada orang yang tidak melalui pendidikan formal dan informal, tapi juga pintar. Dari mana belajarnya? Dari kontemplasinya, perenungan-perenungan sucinya, khalwat dan meditasi, seperti yang dilakukan Rasulullah di gua Hira. Di gua Hira itu tidak ada guru, tidak ada alat tulis, tidak ada papan tulis, tapi bisa melahirkan seorang nabi yang supercerdas.

Ketiga, kita hanya bisa mempelajari apa yang disukai. Ini mitos, seolah-olah apa yang kita tidak sukai tidak bisa dipelajari. Faktanya, ada sesuatu yang tadinya tidak kita sukai, ternyata begitu didalami lebih membuat kita tertarik dibanding ilmu yang kita sukai sebelumnya.

Keempat, prestasi pembelajaran adalah ukuran kesuksesan. Sehingga orang yang tidak berprestasi dalam pembelajarannya, tidak sukses. Ini juga mitos, padahal mungkin saja hari ini tidak berprestasi, tapi tahun berikutnya menjadi pujaan semua orang.

Kadang-kadang ada sebuah pemikiran lahir terlalu cepat melampaui jamannya. Pada masanya pemikiran itu dianggap menyimpang, sesat, tapi bertahun-tahun kemudian dianggap brilian. Sejarah nanti yang akan melihat dan membuktikan hal itu.

Manfaat Ilmu

Semua orang pasti memiliki kehausan terhadap ilmu-ilmu batin. Semakin alim seseorang semakin ingin belajar lagi. Sampai Nabi Musa pun masih ingin mencari guru hingga bertemu dengan Nabi Khidir. Satu kepuasan kalau kita memperoleh suatu ilmu. Manakala kita sudah belajar, batin ini tenang. Setelah kita mendapatkan suatu pencerahan, shalat jadi khusyuk. Setelah kita memperoleh satu pelajaran baru, semakin tidak terasa yang namanya puasa itu. Setelah kita memperoleh ilmu yang baru, sebelumnya begitu berat meninggalkan dosa, tapi sekarang tidak akan terasa berat lagi. Inilah salah satu manfaat ilmu, yakni, meringankan beban kita dalam beribadah kepada Allah.

Kedua, ilmu juga dapat meningkatkan rasa percaya diri. Sekalipun belum mengajarkan ilmu yang dimiliki, percaya diri itu muncul.Orang berdialog tentang suatu tema, kita berani menimbrung karena kita punya modal. Tapi kalau kita tidak punya wawasan apa-apa, mendengarpun tidak tertarik.

Dengan kepercayaan ini yang tinggi, kita akan siap menghadapi tantangan dan persaingan. Orang yang ilmunya sedikit, dia tidak akan tahan banting. Semakin banyak ilmu yang dimiliki seseorang, semakin tidak gampang tersinggung. Dia tahu kebenaran manusia itu relatif. Dia tahu kebenaran itu bertingkat-tingkat. Tapi orang yang wawasannya sempit, dia hanya tahu kebenaran itu tunggal, yaitu kebenaran yang dipegangnya. Selain itu bukan kebenaran. Makanya itu semakin pintar seseorang dia akan semakin arif. Kalau ada orang gampang menyalahkan orang lain, sesungguhnya tidak perlu ditanya, dia pintar atau tidak.

Orang yang arif memberikan tempat berbagai kebenaran di dalam dirinya. Karena itu, semakin orang tidak belajar, semakin meruncing kebenaran itu. Sebaliknya, semakin banyak belajar, kebenaran itu semakin melebar, semakin banyak pilihan-pilihan kebenarannya.

Ketiga, ilmu dapat memperbaiki kesalahan. Dulu saya salah karena saya tidak tahu. Sekarang saya sudah tahu, jadi saya tidak akan melakukan salah yang sama lagi.

Kiat-kiat Belajar

Ada kiat-kiat yang bisa kita lakukan untuk membuat kita ini selalu berada dalam proses pembelajaran.

Pertama, mulailah belajar sesuatu yang berhubungan dengan minat dan potensi. Minat itu harus ada. Apalagi kalau yang kita dalami adalah ilmu-ilmu metafisik seperti tasawuf, harus ada motivasi yang sangat kuat. Kalau motivasi kuat, insya Allah pencapaian kita akan mudah.
Ciri-ciri lahirnya minat dalam diri kita, manakala yang jadi fokus itu lebih kuat daripada apa yang diluarnya. Misalnya ketika kita sedang shalat, pikiran kita menerawang pada hal-hal duniawi, itu pertanda kita sudah digoda iblis.

Kedua, gunakan etika dalam mencari ilmu. Begitu indahnya etika intelektual para pendahulu kita ath-Thabari itu dalam tafsirnya sampai menyebutkan mata rantai dari mana ilmunya berasal. Misalnya, saya peroleh ilmu ini dari A, A dari B, B dari C dst sampai ke sumber aslinya. Orang yang tidak menyebutkan sumber ilmunya, apalagi mengklaimnya sebagai hasil pemikirannya sendiri, adalah pencuri intelektual.

Ketiga, mendisiplinkan diri untuk memetik inti dari suatu pelajaran. Hari ini saya mengaji di Sunda Kelapa,minimal harus ada satu poin yang bisa saya bawa pulang dan terapkan dalam hidup saya. Seolah-olah kita tidak akan pulang dari masjid Sunda Kelapa tanpa ada poin yang jelas dari materi pengajian itu. Kalau ada aksioma seperti itu, biasanya poin yang diperoleh akan berbekas di dalam hati.

Keempat, memiliki tujuan hidup yang jelas. Ada ungkapan “aku melupakan apa yang di belakangku, dan mengarahkan diri pada apa yang ada di hadapanku. Aku berlari-lari menuju satu tujuan yang pasti. Lupakan masa lampau, tutup buku lama yang penuh catatan dosa, dan aku buka catatan harianku.”
Kita harus memperbaiki tujuan hidup yang keliru, karena kita hidup hanya sekali saja di dunia ini. Hidup ini sungguh sangat berharga, tidak patut disia-siakan begitu saja.

(Cuplikan Kuliah Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar, M.A.) 27Dec'08 9:03PM for everyone
www.aswil.multiply.com

Tidak ada komentar: